Saturday, August 30, 2014

Learn and be Grateful


"Menjadi mahasiswa janganlah hanya mengejar ijazah saja, kejarlah skill, jika kamu punya skill, kamu bisa makan, dimanapun kamu berada"
Nasihat itu bukanlah berasal dari Dosen, Bos Perusahaan, Tokoh Terkenal, Pahlawan, Mahasiswa, Profesor, Eksekutif Muda, Aktifis Organisasi, bukan pula dari Kyai atau sosok-sosok besar lainya.

Bukan pula dari Ayah saya, atau ibu saya. Bukan dari kerabat dekat, bukan dari pacar, bukan pula dari teman.

Nasihat yang berbau "akademis" itu berasal dari seorang live enjoyer yang pernah mencicipi bangku SMK namun tidak tamat dan juga seorang difabel. Beliau adalah Pak Yunanto.

Pak Yunanto adalah teknisi yang mahir memodifikasi motor roda tiga bagi difabel agar dapat memiliki mobilitas tinggi dan mandiri.


Kakinya di amputasi lebih dari 5 tahun silam. Beliau dulu adalah seorang wirausaha yang terbilang sukses. Ternak kelinci, budidaya jalak, pohon anggur hingga budidaya jangkring pernah ia lakoni. Menjadi teknisi sumur bor yang membawanya keliling Indonesia (kecuali Ambon) pernah ia jalani.

Namun kini ia memilih mengabdikan dirinya untuk membantu difabel-difabel melalui skill yang ia punya. Pernah suatu ketika dia diajak oleh rekan untuk kembali berbisnis, dia menjawab
"Maaf saya tidak punya waktu, masih banyak yang membutuhkan saya disini, sebagai teknisi"
Beberapa bulan lagi beliau harus ke Papua untuk survei lokasi pelatihan modifikasi motor roda tiga. Benar-benar seorang yang luar biasa, mengingat beliau adalah seorang difabel. Pergi ke pulau-pulau lain untuk sosialisasi dia lakukan sendirian dengan dukungan dari pemerintah maupun lembaga sosial.

Yang dia lakukan adalah untuk membantu orang lain. Beliau mengajari difabel lain untuk dapat memodifikasi motor. Anak didiknya yang juga difabel bahkan banyak yang telah jadi pedagang-pedangang sukses, mulai dari berdagang sayur mayur, peralatan rumah tangga hingga membuka swalayan.

Beliau bercerita bahwa tidak mudah untuk bangkit dapat berdiri dan mandiri seperti sekarang. Dibutuhkan motivasi yang sangat besar untuk percaya diri menghadapi tantangan. Saat kakinya di amputasi, ia benar-benar setres. Seakan-akan semua impianya hancur. Beberapa tahun dia hanya tinggal di rumah, hingga suatu ketika, anaknya yang masih SD bertanya:

"Bapak, saya minta uang saku untuk sekolah hari ini.."
Betapa hancur hati beliau, bahkan untuk menjawab saja tidak bisa karena memang tidak ada uang yang cukup bahkan untuk uang saku anaknya sendiri. Hingga istrinya menjawab
"Iya nak, sekarang sekolah dulu, nanti ibu antar uangnya ke sekolah"

Padahal pada hari itu tidak ada uang lebih hanya sekedar untuk memberikan uang saku bagi anaknya.
Hal itulah yang memicu motivasinya untuk terus bangkit dan berkarya hingga saat ini. Saat ini anak tersebut sudah tamat SMK dan mampu bekerja mandiri di Jakarta.

Diskusi saya dengan Pak Yunanto berawal dari topik tugas akhir saya mengenai penelitian ergonomi bagi alat bantu difabel. Sebelum bertemu pak Yunanto, saya juga bertemu dengan sosok-sosok tegar yang menginspirasi seperti Pak Tohang, Pak Widodo dan Pak Edi.

Mereka semua adalah difabel tunadaksa. Namun mereka adalah sosok-sosok yang kuat. Pak Tohang membuka usaha Laundry, Pak Widodo adalah ketua IKADA Klaten yang merupakan sarjana pendidikan agama, sementara itu Pak Edi adalah ketua PPCK yang telah berangkat ke China dan sebentar lagi ke Australia untuk workshop pengembangan difabel.

Mereka adalah pejuang-pejuang hak kaum difabel di kota Klaten. Pak Edi bahkan bercerita bahwa perjuangan mereka untuk mendapatkan Peraturan Bupati bagi masyarakat Difabel perlu perjuangan bertahun-tahun dan baru disahkan setahun yang lalu.

Dari Pak Widodo saya mendapatkan cerita bahwa di luar sana banyak diskriminasi terhadap kaum difabel, bahkan masih banyak sekolah-sekolah yang menolak kaum difabel dengan alasan "Tidak bisa upacara dan tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga". Belum lagi tentang nasib kaum difabel di pelosok daerah yang hanya dapat tidur, yang bahkan masyarakat sekitar menganggap mereka "mau mati mau hidup, sama saja". Pak Dodo juga bercerita ada seorang siswi difabel yang dia juara satu di sekolah dasarnya, namun di tolak oleh berbagai SMP, atas perjuangan dari Pak Dodo dkk (mulai dari membujuk kepala sekolah hingga mencarikan dana ke badan amal di Surakarta) siswi tersebut dapat melanjutkan sekolah di salah satu SMP dan membuktikan bahwa dia berprestasi, dibuktikan dengan mendapatkan peringkat 7 dari ratusan siswa.

Pak Tohang bercerita bahwa, masyarakat difabel yang berani untuk muncul di depan publik itu termasuk difabel yang sudah lumayan kuat mentalnya, di luar sana, masih sangat banyak sekali yang masih berjuang untuk mendapatkan kepercayaan diri.

Look around, bahwa ternyata, masih banyak saudara kita yang membutuhkan dukungan dan bantuan kita.

Memang itu sebenarnya adalah tugas dari pemerintah, namun apakah kita harus menunggu pemerintah untuk bertindak?

Sering sekali kita mengeluhkan sesuatu, bahkan hal yang sangat remeh.

Kita mengeluh "Duh, makanan ini kok pedes banget sih? padahal aku tadi pesenya ga pedes. bete!", sementara di luar sana masih banyak yang harus mengais sampah hanya untuk mencari makanan sisa

Kita mengeluh "Waduh, ditempatin kerja di pelosok nih, aduh males banget, gajadi ambil ah" padahal di luar sana masih banyak yang rela dibayar 15.000 per hari hanya untuk dapat menyambung hidup.

Kita mengeluh "Aduh, kok aku gendut gini ya, aku pengen langsing ih" padahal di luar sana banyak saudara-saudara kita yang bersyukur hanya memiliki satu kaki.

Kita mengeluh "Aduh, panas banget. Males keluar ah. Males aktivitas" sementara di luar sana, ada saudara difabel yang bahkan untuk keluar dari halaman rumah butuh perjuangan besar, takut dicemooh, takut ditindas.

Terkadang kita sibuk menghujat, mengkritik, memaki orang lain yang "salah berkicau" di twitter, padahal banyak hal penting lain yang bisa dilakukan daripada menghabiskan waktu hanya untuk hal yang sia-sia.

Sadarilah kita terlalu banyak membuang-buang energi untuk hal-hal yang semestinya bisa kita alokasikan untuk hal lain. Kita banyak mengeluarkan rupiah demi rupiah untuk memuaskan hasrat memiliki gadget terbaru, padahal akan lebih berkah jika uang tersebut disumbangkan dan disalurkan untuk membantu saudara kita yang lain. Saudara kita yang dekat, tidak perlu jauh-jauh ke negeri yang lain, lihatlah di sekitar kita, banyak sekali yang masih bisa kita lakukan.

hanya tiga kata yang bisa menggerakkan kita untuk itu "learn" "grateful" and "care"

Belajarlah untuk melihat sekeliling kita, membuka mata pada kondisi nyata. Janganlah terlalu bermimpi tinggi, sementara masih banyak hal yang dekat, hal yang mudah, hal yang bermanfaat untuk dilakukan. Belajar lah untuk memahami kondisi orang lain. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja.

Bersyukurlah dengan apa yang kita punya. Cobalah merenung. Apakah kaki kita masih dua? apakah tangan kita masih dua? apakah kita masih bisa merasakan harum, manis, dingin, panas? jika "iya" maka bersyukurlah.

Pedulilah. Memang sah-sah saja memiliki impian yang tinggi. Namun jabatan, harta, titel, tidak akan terpuaskan, kita akan selalu mencari lagi, mencari dan mencari. Apakah kita akan terus mencari? sementara kita sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk dapat membahagiakan orang lain? apakah kita akan selalu mengejar kebahagiaan pribadi? apakah kita belum mampu membahagiakan orang lain dengan apa yang kita punya?

Tenagamu, pikiranmu, bakatmu, potensimu, kekayaanmu, jadikanlah hal itu menjadi berarti, tidak hanya untuk dirimu. tapi juga untuk sesama, untuk orang lain.

Only a life lived for others is worth living - Albert Einstein

No comments:

Post a Comment