"Kamu kok masih sibuk aja, ga fokus skripsi aja kayak yang lain?"
Teman saya menanyakan hal tersebut saat dia melihat saya sedang mengerjakan poster untuk kegiatan Bklass Sharing Shareng. Dia adalah teman satu jurusan saya, satu angkatan. Kami berdua sama-sama mahasiswa tingkat akhir.
Pertanyaan yang sangat wajar. Bahkan teman komunitas saya pernah nyeletuk
"Mas, kamu tu harusnya udah lulus."
atau
"Mas, selo tenan, skripsine gek ndang digarap."
(Mas, santai banget, skripsinya buruan dikerjakan!)
Saya tidak tahu harus menjawab apa, tapi yang saya yakini adalah apa yang saya lakukan adalah hal yang benar. Saya bukanlah orang yang malas sebenarnya, ada alasan dibalik kenapa saya masih dalam tahap skripsi hingga saat ini.
Mengurus komunitas, mengurus program, mengikuti lomba dan merintis bisnis masih saya lakukan disamping tugas utama saya yaitu mengerjakan skripsi. Saya merasa apa yang saya lakukan adalah benar. Saya merasa ini adalah cara saya untuk memaksimalkan potensi yang saya miliki.
Memilih fokus tidak fokus adalah pilihan masing-masing individu. Menurut saya tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Dibilang tidak fokus skripsi, tidak benar juga menurut saya, karena saya memiliki waktu tersendiri untuk menyelesaikan skripsi saya, dan disaat saya mengerjakan skripsi, saya akan fokus untuk itu. Namun jika waktunya untuk hal lain, saya juga harus fokus untuk hal yang sedang saya kerjakan seperti saat saya berada di komunitas atau saat saya bersama dengan tim lomba.
"Fokus Skripsi" menurut saya adalah batasan. Batasan yang kita buat sendiri. Sampai saat ini saya menganggap bahwa saya masih bisa untuk mengeksplore potensi saya dan melebarkan batasan kemampuan saya. Jika saya bisa skripsi, mengurus komunitas, mengikuti lomba dan merintis bisnis sekaligus, kenapa saya harus memilih membatasi diri dengan hanya skripsi saja?
"You're better than you think"
Apa yang saya lakukan adalah sebuah perbedaan. Berbeda namun tetap positif menurut saya. Dengan melakukan banyak hal saya merasa hidup. Apa yang saya lakukan semata-mata tidak untuk diri saya sendiri, namun juga untuk orang lain. Saya membuat komunitas, bukan untuk saya sendiri namun untuk orang lain khususnya untuk membantu teman-teman SMA mengenali jurusan kuliah impianya. Saya membuat program sharing, bukan untuk saya sendiri, namun untuk teman-teman lain khususnya untuk mahasiswa baru yang ingin menjadi mahasiswa yang berprestasi. Saya mengikuti lomba, salah satu anggota tim lomba saya adalah mahasiswa angkatan muda dimana dia belum pernah menjuarai perlombaan, jika di perlombaan kali ini tim kami menang, anggap saja ini sebagai hadiah untuk teman saya tersebut. Merintis bisnis saya lakukan untuk membantu teman saya, saya bukanlah CEO di bisnis tersebut, teman saya lah yang menjadi CEO, saya hanya membantu, karena sebenarnya bukan saya yang mengawali, namun teman saya tersebut. Bisnis yang saya dirikan juga memiliki values yang baik bagi orang lain yaitu untuk memberikan motivasi dan menyebar kebaikan untuk masyarakat melalui media kaos.
Lalu, kenapa harus selalu memikirkan diri sendiri? apakah kita tidak bisa menjadi orang yang merelakan waktunya untuk orang lain? apakah kita tidak cukup kuat untuk melakukan hal itu? apakah kita terlalu muda? apakah kita masih takut untuk memulai? apakah dengan lulus cepat juga menentukan kualitas seseorang? apakah kita terlalu takut untuk keluar dari zona nyaman? apakah kita terlalu takut untuk mengeksplore potensi kita sendiri? apakah kita hanya ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja? apakah saya salah jika saya melakukan sesuatu yang saya suka, dan itu juga berguna untuk orang lain? apakah ada jaminan bahwa mahasiswa yang lulus cepat, IP cumlaude adalah mahasiswa yang benar-benar berkualitas? apakah mahasiswa tersebut juga pasti memiliki impact yang besar bagi orang lain dan lingkungan sekitar??
Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali hinggap dalam diri saya pribadi, pertanyaan tersebut adalah buah pikiran pribadi saya, bukan ditujukan untuk orang lain, tapi ditujukan untuk saya pribadi. Dan semua pertanyaan tersebut, ingin sekali saya jawab dengan satu kata
"No"
Kita memang dilahirkan berbeda. Setiap orang ditakdirkan berbeda. Lalu kenapa harus sama? kenapa harus mengikuti jalan orang lain yang sudah mainstream? kenapa tidak mencoba jalan lain yang lebih challenging??
Pada saat ini, menjadi berbeda adalah hal yang cukup sulit. Mengingat perbedaan masih saja dianggap hal yang aneh oleh masyarakat. Ketika kita memutuskan untuk menjadi berbeda, pastilah banyak halangan dan rintangan yang menguji kita.
Bapak Handry Satriago (CEO GE) dalam seminarnya saat Future Leader Summit bulan Mei lalu memaparkan bahwa salah satu skill yang harus dimiliki oleh seorang future leader adalah "Berani Berbeda". Saya harus belajar untuk menjadi berbeda. Bukan hanya sekedar berbeda, namun berbeda yang positif, kontributif dan inovatif.
Karena saya ingin menjadi future leader, bukan menjadi future follower.
So, i'm trying to be different.
No comments:
Post a Comment