“Great Leaders always try to listen & responsive. Bad Leaders seringkali adalah bad listeners. Banyak good orator yang jadi good leaders kemudian jadi bad karena nggak good dalam mendengarkan masukan orang lain, terutama followers-nya. Pengalaman saya bertemu dengan leaders yang saya anggap good.. 'They listen well kala orang memberi input.. dari siapapun input tersebut' ” – Handry Satriago
"Mendengar" adalah skill yang
gampang-gampang susah. Mendengar akan mudah jika orang yang berbicara adalah
orang yang kita sukai atau materinya yang menarik. Tapi lain ceritanya jika
yang berbicara adalah orang yang tidak kita suka, konten yang dibicarakan tidak
sesuai dengan kita atau mungkin saat terjadi perbedaan pendapat. Sangat sulit
untuk dapat mengontrol ego untuk tetap mendengar jika situasi kedua tersebut
terjadi.
Saya pernah mengikuti sebuah seminar,
yang terdiri dari 4 sesi materi. Seminar tersebut mengusung tema yang menarik
mengenai manajemen organisasi. Saya memiliki ekspektasi yang tinggi pada
seminar tersebut.
Sebuah seminar akan menarik tergantung
dari banyak hal, menurut saya tema dan pembicara adalah hal yang membuat saya
tertarik. Seminar yang saya ikuti tersebut memiliki tema yang saya sukai, namun
pembicaranya kurang menarik minat saya. Namun saya tetap berusaha untuk mencoba
menerapkan “Gelas setengah penuh”, saya siap mendengarkan ilmu baru yang
dimiliki oleh pembicara tersebut.
Akhirnya, seminar pun dimulai. Sesi
satu dan dua well done. Saya merasa mendapatkan banyak manfaat dan ilmu dari
kedua pembicara yang ternyata memiliki materi dan gaya penyampaian yang baik.
Saya berharap sesi 3 dan 4 sama atau lebih bagus dari sesi sebelumnya
Tibalah sesi 3, pembicaranya seorang
wanita, masih muda. Menurut saya (ini menurut saya lho ya), slide yang disampaikan tidak menarik, gaya penyampaianya
sangat kurang (dia lebih banyak menghadap layar proyektor dibanding menghadap
peserta). Materi yang disampaikan? Saya kurang tertarik. Dalam situasi seperti
ini sangat sulit untuk dapat menerapkan ilmu “jangan melihat orang yang
menyampaikan, namun apa yang disampaikan”, nah kalau saya tidak tertarik dengan
materinya, lalu gimana? Namun saya berusaha untuk terus mendengarkan, sesekali
tersenyum saat dia melihat saya (kebetulan saya duduk di depan jadi dia sering
melihat ke arah saya), pura-pura menganggukan kepala walau tidak mudeng apa
yang disampaikan, dan terkadang ikut tertawa dengan terpaksa saat pembicara itu
nge-joke garing.
Sesi 4, berlangsung sangat boring,
pembicara adalah seorang ibu-ibu yang sudah cukup berumur, materi sangat jauh dari harapan saya, selain itu sesi terakhir ini berlangsung
pada pukul 14.30 yang notabene adalah sleepy moment, para peserta juga sudah banyak
yang keluar ruangan, sehingga kondisi sangat tidak kondusif. Namun saya tetap berusaha menghargai pembicara, apalagi pembicara tersebut sudah cukup umur. Hal
pertama yang saya rasakan adalah, beliau seperti ibu saya, saya ingin berusaha
untuk menghargai beliau sama seperti saya menghargai ibu saya. Sampai acara
berakhir, mungkin hanya perasaan “kasian” yang membuat saya tetap bertahan
untuk mendengarkan beliau.
Sangat sulit jika berada pada situasi
tersebut, situasi dimana seseorang berbicara namun kita sama sekali tidak suka
dengan pemateri, gaya penyampaian maupun materi yang disampaikan. Namun saya
rasa, tidak ada yang salah dengan “mendengar”. Mendengar perlu dilatih,
mendengar tidaklah mudah, dan yang paling penting mendengar adalah bagian dari
menghargai orang lain.
Saya mendengar karena saya ingin orang
lain mendengar saya. Pernah saya berbicara di depan umum namun audience tidak mendengar saya.
Hal tersebut sangat tidak menyenangkan, tidak enak, dan rasanya sangat
menyebalkan. Pernah pula saya mengikuti presentasi di sebuah Perusahaan,
kondisi sangat tidak kondusif, ketika seseorang sedang berbicara, peserta
banyak yang tidak mendengarkan mereka malah sibuk berbicara sendiri. Situasi
ini sangat mengganggu saya.
Waktu itu saya pernah melihat acara
sidang legislatif untuk menentukan kenaikan harga BBM, waktu itu ketua rapat
berbicara, namun selalu dipotong dan disela oleh para peserta. Sangat-sangat
tidak kondusif, rapat berlangsung dengan tidak tertib, simpang siur dan kacau
balau. Saya juga pernah melihat acara talkshow pagi hari di salah satu stasiun
televisi yang menghadirkan para wakil rakyat yang saling beradu argument dan
tidak ingin mendengarkan lawan bicaranya, belum selesai berbicara langsung
disela, kedua pihak tidak ingin ada yang mencoba memahami, mendengar dan
mengalah.
Saya merasa bahwa ketika saya
berbicara, namun orang lain tidak mendengar, atau orang lain memotong
pembicaraan kita, itu sangat tidak menyenangkan. Maka saya berusaha untuk
selalu mendengar ketika berdiskusi dengan orang lain. Mendengar adalah bentuk
menghargai orang lain.
Mendengar juga merupakan leadership skill yang sangat ampuh. Apa jadinya jika seorang pemimpin tidak mau mendengar bawahanya. Sama seperti Indonesia, seharusnya para pimpinan mau untuk mendengarkan "suara akar rumput". Seorang leader harus
belajar untuk mendengar seperti artikel ini ,
Wodrow Wilson berkata
"The ear of the leader must ring with the voices of the people.",
Winston Churcil juga berkata
"Courage is what it takes to stand up and speak; courage is also what it takes to sit down and listen.".
Saya tertarik dengan sikap Bapak Ahmad
Yuniarto (Chairman Schlumberger Indonesia) dalam satu kesempatan saya pernah
bertemu beliau dan belajar dari beliau. Kata-kata yang beliau ucapkan pertama
kali dalam sesi sharing tersebut adalah
“Ada pertanyaan?”
Sampai saat ini saya masih belajar
untuk mendengar. Saya yakin dari mendengar, saya akan mendapatkan banyak
masukan, ide, gagasan, problem solving, informasi dan masih banyak lagi. Selain
itu mendengar juga melatih sikap saya. Saat ini banyak orang pintar, namun
attitude kurang. Mendengar adalah salah satu etika yang bernilai tinggi. Sebuah
perusahaan asuransi malah membuat jargon
“Always listening, always understanding”
Karena memang dengan mendengar kita
dapat memahami orang lain. Teman saya pernah bercerita bahwa suatu ketika dia
menjalani interview beasiswa perusahaan migas multinasional yang berbasis di
Prancis. Selesai interview, teman saya bertanya pada interviewer tentang
kriteria kandidat yang seperti apa yang dipilih oleh perusahaan tersebut.
Interviewer tersebut menjawab
“Orang yang mau untuk mendengar”
Bahkan mendengar adalah sebuah sifat
mulia yang dimiliki oleh Allah swt yang merupakan salah satu Asmaul Husna, yaitu
As-Sami' ; Yang Maha Mendengar
So, belajar mendengar itu penting.
“Saya mendengar, karena saya ingin didengar”
No comments:
Post a Comment