Saturday, April 19, 2014

Listen



“Great Leaders always try to listen & responsive. Bad Leaders seringkali adalah bad listeners. Banyak good orator yang jadi good leaders kemudian jadi bad karena nggak good dalam mendengarkan masukan orang lain, terutama followers-nya. Pengalaman saya bertemu dengan leaders yang saya anggap good.. 'They listen well kala orang memberi input.. dari siapapun input tersebut' ” – Handry Satriago
"Mendengar" adalah skill yang gampang-gampang susah. Mendengar akan mudah jika orang yang berbicara adalah orang yang kita sukai atau materinya yang menarik. Tapi lain ceritanya jika yang berbicara adalah orang yang tidak kita suka, konten yang dibicarakan tidak sesuai dengan kita atau mungkin saat terjadi perbedaan pendapat. Sangat sulit untuk dapat mengontrol ego untuk tetap mendengar jika situasi kedua tersebut terjadi.


Saya pernah mengikuti sebuah seminar, yang terdiri dari 4 sesi materi. Seminar tersebut mengusung tema yang menarik mengenai manajemen organisasi. Saya memiliki ekspektasi yang tinggi pada seminar tersebut.

Sebuah seminar akan menarik tergantung dari banyak hal, menurut saya tema dan pembicara adalah hal yang membuat saya tertarik. Seminar yang saya ikuti tersebut memiliki tema yang saya sukai, namun pembicaranya kurang menarik minat saya. Namun saya tetap berusaha untuk mencoba menerapkan “Gelas setengah penuh”, saya siap mendengarkan ilmu baru yang dimiliki oleh pembicara tersebut.

Akhirnya, seminar pun dimulai. Sesi satu dan dua well done. Saya merasa mendapatkan banyak manfaat dan ilmu dari kedua pembicara yang ternyata memiliki materi dan gaya penyampaian yang baik. Saya berharap sesi 3 dan 4 sama atau lebih bagus dari sesi sebelumnya

Tibalah sesi 3, pembicaranya seorang wanita, masih muda. Menurut saya (ini menurut saya lho ya), slide yang disampaikan tidak menarik, gaya penyampaianya sangat kurang (dia lebih banyak menghadap layar proyektor dibanding menghadap peserta). Materi yang disampaikan? Saya kurang tertarik. Dalam situasi seperti ini sangat sulit untuk dapat menerapkan ilmu “jangan melihat orang yang menyampaikan, namun apa yang disampaikan”, nah kalau saya tidak tertarik dengan materinya, lalu gimana? Namun saya berusaha untuk terus mendengarkan, sesekali tersenyum saat dia melihat saya (kebetulan saya duduk di depan jadi dia sering melihat ke arah saya), pura-pura menganggukan kepala walau tidak mudeng apa yang disampaikan, dan terkadang ikut tertawa dengan terpaksa saat pembicara itu nge-joke garing.

Sesi 4, berlangsung sangat boring, pembicara adalah seorang ibu-ibu yang sudah cukup berumur, materi sangat jauh dari harapan saya, selain itu sesi terakhir ini berlangsung pada pukul 14.30 yang notabene adalah sleepy moment, para peserta juga sudah banyak yang keluar ruangan, sehingga kondisi sangat tidak kondusif. Namun saya tetap berusaha menghargai pembicara, apalagi pembicara tersebut sudah cukup umur. Hal pertama yang saya rasakan adalah, beliau seperti ibu saya, saya ingin berusaha untuk menghargai beliau sama seperti saya menghargai ibu saya. Sampai acara berakhir, mungkin hanya perasaan “kasian” yang membuat saya tetap bertahan untuk mendengarkan beliau.

Sangat sulit jika berada pada situasi tersebut, situasi dimana seseorang berbicara namun kita sama sekali tidak suka dengan pemateri, gaya penyampaian maupun materi yang disampaikan. Namun saya rasa, tidak ada yang salah dengan “mendengar”. Mendengar perlu dilatih, mendengar tidaklah mudah, dan yang paling penting mendengar adalah bagian dari menghargai orang lain.

Saya mendengar karena saya ingin orang lain mendengar saya. Pernah saya berbicara di depan umum namun audience tidak mendengar saya. Hal tersebut sangat tidak menyenangkan, tidak enak, dan rasanya sangat menyebalkan. Pernah pula saya mengikuti presentasi di sebuah Perusahaan, kondisi sangat tidak kondusif, ketika seseorang sedang berbicara, peserta banyak yang tidak mendengarkan mereka malah sibuk berbicara sendiri. Situasi ini sangat mengganggu saya.

Waktu itu saya pernah melihat acara sidang legislatif untuk menentukan kenaikan harga BBM, waktu itu ketua rapat berbicara, namun selalu dipotong dan disela oleh para peserta. Sangat-sangat tidak kondusif, rapat berlangsung dengan tidak tertib, simpang siur dan kacau balau. Saya juga pernah melihat acara talkshow pagi hari di salah satu stasiun televisi yang menghadirkan para wakil rakyat yang saling beradu argument dan tidak ingin mendengarkan lawan bicaranya, belum selesai berbicara langsung disela, kedua pihak tidak ingin ada yang mencoba memahami, mendengar dan mengalah.

Saya merasa bahwa ketika saya berbicara, namun orang lain tidak mendengar, atau orang lain memotong pembicaraan kita, itu sangat tidak menyenangkan. Maka saya berusaha untuk selalu mendengar ketika berdiskusi dengan orang lain. Mendengar adalah bentuk menghargai orang lain.

Mendengar perlu dilatih, banyak tips di internet dalam mendengar seperti ini dan ini. 

Mendengar juga merupakan leadership skill yang sangat ampuh. Apa jadinya jika seorang pemimpin tidak mau mendengar bawahanya. Sama seperti Indonesia, seharusnya para pimpinan mau untuk mendengarkan "suara akar rumput". Seorang leader harus belajar untuk mendengar seperti artikel ini

Wodrow Wilson berkata 
"The ear of the leader must ring with the voices of the people.",

Winston Churcil juga berkata 
"Courage is what it takes to stand up and speak; courage is also what it takes to sit down and listen."
Saya tertarik dengan sikap Bapak Ahmad Yuniarto (Chairman Schlumberger Indonesia) dalam satu kesempatan saya pernah bertemu beliau dan belajar dari beliau. Kata-kata yang beliau ucapkan pertama kali dalam sesi sharing tersebut adalah
“Ada pertanyaan?”
Sampai saat ini saya masih belajar untuk mendengar. Saya yakin dari mendengar, saya akan mendapatkan banyak masukan, ide, gagasan, problem solving, informasi dan masih banyak lagi. Selain itu mendengar juga melatih sikap saya. Saat ini banyak orang pintar, namun attitude kurang. Mendengar adalah salah satu etika yang bernilai tinggi. Sebuah perusahaan asuransi malah membuat jargon
“Always listening, always understanding”
Karena memang dengan mendengar kita dapat memahami orang lain. Teman saya pernah bercerita bahwa suatu ketika dia menjalani interview beasiswa perusahaan migas multinasional yang berbasis di Prancis. Selesai interview, teman saya bertanya pada interviewer tentang kriteria kandidat yang seperti apa yang dipilih oleh perusahaan tersebut. Interviewer tersebut menjawab
“Orang yang mau untuk mendengar”

Bahkan mendengar adalah sebuah sifat mulia yang dimiliki oleh Allah swt yang merupakan salah satu Asmaul Husna, yaitu 
As-Sami' ; Yang Maha Mendengar

So, belajar mendengar itu penting.

“Saya mendengar, karena saya ingin didengar” 

No comments:

Post a Comment